Langsung ke konten utama

Postingan

Apakah Mendiang Raybeez (Warzone) Seorang Yahudi? It's coming again from the streets A lion's roar, a tribal beat It's time for you to give a hand And fight the battle to the promised land Adalah penggalan lirik lagu “The Sound of Revolution” milik Warzone, yang terdapat dalam album dengan judul yang sama. Album tersebut rilis pada 1996, di bawah bendera Victory Records. Album ini cukup diminati di kalangan scenester lokal. Namun sayangnya tidak rilis di Indonesia, tapi malah beredar di Malaysia melalui Valentine Sound Productions (VSP). Di tongkrongan sendiri album ini beredar dari tangan ke tangan, biasanya merupakan copian dari CD. Dan jangan lupa album ini juga pernah dibajak, dengan cover cetak offset dan dapat mudah dijumpai di lapakan , sekitar tahun 2000-2002. Dalam tulisan ini saya enggak fokus ke albumnya ya, tapi lebih pada lagu tersebut dan sudah sekian lama tergiang di benak saya, mengenai makna dari lagu tersebut. Terutama pada kalimat “ promis...
Postingan terbaru
Bocah-bocah dalam Scene Punk CBGB Era 80-an Sekali waktu saya pernah melihat percakapan mendiang Al Barile, pentolan Society System Decontrol (SSD) dengan seorang netizen dalam sebuah unggahan. Netizen tersebut menanyainya tentang Harley Flannagan (The Stimulators, Cro-Mags). Lalu Al berujar “ He’s just a little kid back then. ” Pernyataannya ada benarnya, mengingat Al kelahiran tahun 1962, sedangkan Harley kelahiran 1967. Mereka selisih usia 5 tahun!. Namun SSD baru terbentuk pada 1981. Sedangkan Harley di tahun 1978, sudah terjun ke scene sebagai penggebuk drum The Stimulators, saat dia masih berusia 11 tahun. The Stimulators tercatat pernah satu panggung bareng; Black Flag, The Undead, Stiff Little Fingers, Pure Hell, The Fall, Bad Brains, Richard Hell and The Voidoids, hingga Sid Vicious. Lalu pertanyaannya siapa yang lebih dulu terjun ke scene ? Al Barile kah atau Harley Flanagan. Tentu jawabnya Harley. Mengapa? sebab scene itu tidak seperti “Lo masuk SD sehingga usia lo ...
Pummel debut album mayor label ALL  Kepergian Milo Aukerman (vokal) dari Descendents pada 1987, untuk mengajar karir sebagai ahli biologi molekuler. Membuat Bill Stevenson (dram), Karl Alvarez ( bass ) dan Stephen Egerton (gitar), memutuskan untuk bikin band baru bernama ALL. ALL terbilang cukup produktif, betapa tidak dalam rentang waktu 1987-1995, mereka telah menghasilkan sekitar tujuh album. Setelah sekian lama berkutat di Cruz Records ─ label independen kecil ─ milik Greg Ginn (Black Flag), sekitar pertengahan 1994 perubahan besar datang. ALL dikontrak oleh Interscope. Label besar yang menaungi nama-nama kondang seperti; No Doubt, Helmet, Smash Mouth dan lain sebagainya. Keputusan tersebut membuat para personel ALL, dapat hidup lebih layak. "(Setelah bernaung di label besar) Kami akhirnya punya cukup uang, untuk hidup seperti orang normal," kenang Karl Alvarez. Sebelumnya Karl menempati rumah ayahnya, Bill dan pacarnya juga menumpang di situ. “Padahal saat itu say...
Punk Komedi, Bisakah Serius? Kemarin sebuah media daring musik terkemuka, mengirim unggahan berjudul Punk Komedi, Bisakah Serius? . Tapi ketika dicari di laman resmi mereka, ternyata tidak ada ulasan lebih lanjut, melainkan hanyalah konten interaktif media sosial belaka, terkait kemunculan band-band punk rock dengan esensi komedi di Tanah Air. Dinarasikan bahwa Tabraklari jadi satu dari sekian band, yang meramu musiknya demikian. Dalam artikel ini tidak membahas Tabraklari. Cuman yang disayangkan ialah, media daring itu tidak menggali pembahasan ini lebih dalam. Seandainya bila disertai ulasan yang mendetail, mungkin bisa jadi sarana edukasi. Sedikit flashback ke pertengahan dekade 1970. Tak hanya di daratan Britania, virus punk rock juga menyebar seantero Amerika. Bola salju yang digelindingkan Ramones, bergulir cepat dan kian membesar. Menyebabkan lahirnya band-band punk generasi kedua ─ menurut Keith Morris (Circle Jerks) yang bahkan memposisikan Black Flag generasi ketiga ─ ...
Klöver: Punk yang Merasa Tidak Beruntung Dookie (Reprise, 1994) adalah game changer , dan itu fakta. Efeknya punk rock gold rush pun, dalam industri musik dunia tidak terhindarkan. Dan hal tersebut, tak luput jadi perhatian Mercury Records, yang ikut-ikutan merangkul band-band punk rock. Namun boro-boro menggaet band muda ─pada zaman itu─ kaya Green Day atau The Muffs, mereka malah merangkul muka-muka lama. Kok bisa? yah bisa saja, mungkin karena dilandasi persepsi kalau band-band muda tidak terlalu banyak yang tahu. Sementara kalau muka-muka lama, paling tidak mereka sudah punya nama dan disegani dalam komunitas. Jadi mengatrol namanya ngga capek-capek amat. Padahal teori begini, kadang ngga berbanding lurus dengan hasil penjualan. Singkat cerita, merapatlah Circle Jerks dan Klöver. Di sini, saya tidak perlu menjelaskan lagi Circle Jerks. Sebaliknya Klöver adalah newbie di scene punk, akan tetapi isinya muka-muka lama. Klöver adalah band punk rock supergroup asal Boston, Ma...
Bernostalgia dengan Musik Rock Mainstream Era 2000-an Istilah-istilah dalam dunia musik kadang terdengar maksain . Alih-alih mempermudah yang ada malah bikin rancu. Ambil contoh, saya tidak tahu distingsi yang akurat, antara d-beat, crust punk, powerviolence, thrashcore, dan crossover thrash. Kalau saya amati semua sama saja. Begitu pula, ketika gelombang musik rock alternatif melanda dan memopulerkan terminologi grunge. Padahal sebutan rock alternatif saja sudah cukup mewakili, tak perlu lagi istilah-istilah baru, sepanjang stereotip musiknya sama. Tapi yang namanya industri saya sih mafhum, kan mereka lagi dagang sehingga butuh “perlabelan”, tujuannya agar memikat calon konsumen atau paling ngga aware lah. Dan terbukti ketika grunge menyeruak, lanskap musik rock dunia seketika berubah. Akan tetapi pamornya tidak bertahan lama. Grunge seolah kehilangan energi setelah kepergian Kurt Cobain, keadaan ini membuka peluang bagi musik-musik yang tersingkir oleh kesuksesan Nevermind (DGC ...
Menilik Perkembangan Ska di Jepang Kalian pasti pernah melihat unggahan di media sosial, terkait teknologi di Jepang bukan? biasanya dilengkapi narasi yang berbunyi “Jepang hidup di 2050”. Meski sekadar ungkapan, namun hal itu cukup menggambarkan, betapa pesatnya kemajuan negeri Sakura tersebut. Tak hanya dibidang teknologi, otomotif, industri komik (manga), budaya, pendidikan, dan kedisiplinan saja. Ternyata di bidang musik khususnya musik underground , Jepang juga lebih unggul dibanding dengan negara lainnya, yang berada di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Di posisi kedua mungkin di duduki Filipina. Itu juga karena Filipina jajahan Amerika, dan banyak eskpatriat tinggal di sana yang mengenalkan punk. Scene underground di Jepang eksis pada akhir dekade 1970, yang ditandai dengan hadirnya band SS, yang memainkan punk rock bertempo cepat. Setelah itu muncullah nama-nama seperti The Stalin, G.I.S.M., Gauze, Lip Cream, Kuro, dan lain sebagainya. Tak hanya scene punk, scene ska pun...