Langsung ke konten utama

Postingan

Klöver: Punk yang Merasa Tidak Beruntung Dookie (Reprise, 1994) adalah game changer , dan itu fakta. Efeknya punk rock gold rush pun, dalam industri musik dunia tidak terhindarkan. Dan hal tersebut, tak luput jadi perhatian Mercury Records, yang ikut-ikutan merangkul band-band punk rock. Namun boro-boro menggaet band muda ─pada zaman itu─ kaya Green Day atau The Muffs, mereka malah merangkul muka-muka lama. Kok bisa? yah bisa saja, mungkin karena dilandasi persepsi kalau band-band muda tidak terlalu banyak yang tahu. Sementara kalau muka-muka lama, paling tidak mereka sudah punya nama dan disegani dalam komunitas. Jadi mengatrol namanya ngga capek-capek amat. Padahal teori begini, kadang ngga berbanding lurus dengan hasil penjualan. Singkat cerita, merapatlah Circle Jerks dan Klöver. Di sini, saya tidak perlu menjelaskan lagi Circle Jerks. Sebaliknya Klöver adalah newbie di scene punk, akan tetapi isinya muka-muka lama. Klöver adalah band punk rock supergroup asal Boston, Ma
Postingan terbaru
Bernostalgia dengan Musik Rock Mainstream Era 2000-an Istilah-istilah dalam dunia musik kadang terdengar maksain . Alih-alih mempermudah yang ada malah bikin rancu. Ambil contoh, saya tidak tahu distingsi yang akurat, antara d-beat, crust punk, powerviolence, thrashcore, dan crossover thrash. Kalau saya amati semua sama saja. Begitu pula, ketika gelombang musik rock alternatif melanda dan memopulerkan terminologi grunge. Padahal sebutan rock alternatif saja sudah cukup mewakili, tak perlu lagi istilah-istilah baru, sepanjang stereotip musiknya sama. Tapi yang namanya industri saya sih mafhum, kan mereka lagi dagang sehingga butuh “perlabelan”, tujuannya agar memikat calon konsumen atau paling ngga aware lah. Dan terbukti ketika grunge menyeruak, lanskap musik rock dunia seketika berubah. Akan tetapi pamornya tidak bertahan lama. Grunge seolah kehilangan energi setelah kepergian Kurt Cobain, keadaan ini membuka peluang bagi musik-musik yang tersingkir oleh kesuksesan Nevermind (DGC
Menilik Perkembangan Ska di Jepang Kalian pasti pernah melihat unggahan di media sosial, terkait teknologi di Jepang bukan? biasanya dilengkapi narasi yang berbunyi “Jepang hidup di 2050”. Meski sekadar ungkapan, namun hal itu cukup menggambarkan, betapa pesatnya kemajuan negeri Sakura tersebut. Tak hanya dibidang teknologi, otomotif, industri komik (manga), budaya, pendidikan, dan kedisiplinan saja. Ternyata di bidang musik khususnya musik underground , Jepang juga lebih unggul dibanding dengan negara lainnya, yang berada di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Di posisi kedua mungkin di duduki Filipina. Itu juga karena Filipina jajahan Amerika, dan banyak eskpatriat tinggal di sana yang mengenalkan punk. Scene underground di Jepang eksis pada akhir dekade 1970, yang ditandai dengan hadirnya band SS, yang memainkan punk rock bertempo cepat. Setelah itu muncullah nama-nama seperti The Stalin, G.I.S.M., Gauze, Lip Cream, Kuro, dan lain sebagainya. Tak hanya scene punk, scene ska pun
Dari Schleprock, ke The Generators hingga Radical Records Kematian Douglas Scott Kane hari ini (waktu Amerika), membuat saya kembali mendengarkan karya mendiang bersama Schleprock, bertajuk (America's) Dirty Little Secret (Warner Bros, 1996). Ini merupakan satu-satunya album kugiran asal  Los Angeles, California, tersebut, yang beredar resmi di dalam negeri. Schleprock bubar tak lama setelah debut major labelnya rilis. Seperti halnya Green Day dan Jawbreaker, band ini juga mengalami resistensi oleh komunitas punk di Amerika. Cap sell out pun, tak terelakkan lagi. Tak berapa lama Doug kembali membentuk band, bernama The Generators. Secara sound band barunya itu, tidak jauh berbeda dengan album terakhir Schleprock. Mengapa saya bilang tidak jauh berbeda dengan album terakhir mereka, sebab sekitar 2000-an awal saya pernah memesan album lain mereka lewat toko Aquarius Pondok Indah, dan musiknya berbeda dengan materi di album (America's) Dirty Little Secret. The Generators
Menyoal Kaset Bootleg: Sudah Mahal, Ternyata Tidak Asli Beberapa hari lalu, seorang kenalan memperlihatkan kaset Hatebreed Satisfaction Is The Death Of Desire (Victory Records, 1997). Dia meyakini kalau itu kaset asli, yang resmi beredar di Indonesia. Lalu saya katakan padanya bahwa album itu, tidak pernah rilis di Indonesia. Dengan kata lain itu adalah kaset bootleg , produksi kota sebelah yang pada tahun 2000 – 2003 marak beredar di lapak-lapak kaset Blok M, atau Jatinegara. Sedikit flashback masifnya kegiatan korespondensi ─ surat menyurat ─ dengan label luar negeri, pada tahun-tahun itu dan sebelumnya, membuat banyak scenester lokal melakukan kegiatan hacker atau carding , yang berdampak pada banyaknya CD import beredar di tongkrongan . Nah sebagian scenester lokal ada yang melihat itu sebagai peluang bisnis, dengan membuat kaset replika atau bootleg apa saja ( mostly skate punk, hardcore, dan street punk UK82) dan diedarkan di lapak-lapak. Secara tampilan fisik, kaset
Hüsker Dü Band yang Berjasa Melahirkan Rock Alternatif Hüsker Dü adalah nama yang kurang lazim dipakai, band punk atau hardcore pada dekade 1980. Kebanyakan band saat itu mengadopsi nama yang berkonotasi negatif, terkesan rebel, atau kalimat slang . Namun bagi Grant Hart (drum), Bob Mould (gitar & vokal), Greg Norton (bass), nama Hüsker Dü cukup representatif dan unik. Nama tersebut diambil dari sebuah papan permainan, mirip Monopoli, Halma, dan semacamnya, yang populer dimainkan oleh anak-anak dan orang dewasa pada dekade 60-an dan 70-an. Hüsker Dü terbentuk di Saint Paul, Minnesota, Amerika, pada 1979. Awalnya mereka banyak menjumput pengaruh dari Ramones, Sex Pistols, dan band-band punk rock klasik lainnya. Namun semua berubah ketika mereka menyaksikan The Fartz, D.O.A., dan Dead Kennedys. Dari situ ketiganya mulai menaikkan tempo permainan jadi lebih cepat, garang, dan tanpa kompromi. Hasilnya bisa kita dengar dalam album live perdana mereka, bertitel Land Speed Record (New A
Mick Jones : Saya Ternyata Seorang Punk! The Clash takkan pernah sama tanpa Mick Jones (gitar), begitu pula sebaliknya. Joe Strummer (vokal & gitar) dan Mick Jones adalah dua kolaborator yang tidak boleh terpisahkan. Mick seorang music arranger yang handal, sedangkan Joe seorang lyricist jempolan. Tapi apa mau dikata, tensi keduanya kian meruncing dan berujung dipecatnya Mick pada September 1983. Persoalan bermula dari rasa jenuh Strummer dan Paul Simonon (bass), terhadap karya-karya The Clash pada dua album terakhir ─ Sandinista dan Combat Rock ─, yang dianggapnya sudah melenceng jauh dari khitah band. Kebanyakan sampling , synthesizer , dan pengaruh Jamaican Music . Joe dan Paul ingin mengembalikan marwah band seperti dulu: chaos , frontal, dan berenergi. Istilahnya back to their punk roots . Untuk memuluskan rencana tersebut, Joe dan Paul kembali merekrut   Bernie Rhodes sebagai manager, yang sebelumnya pernah berseteru dengan Mick. Akan tetapi, Mick tak tinggal diam, s