Langsung ke konten utama

Pummel debut album mayor label ALL 

Kepergian Milo Aukerman (vokal) dari Descendents pada 1987, untuk mengajar karir sebagai ahli biologi molekuler. Membuat Bill Stevenson (dram), Karl Alvarez (bass) dan Stephen Egerton (gitar), memutuskan untuk bikin band baru bernama ALL.

ALL terbilang cukup produktif, betapa tidak dalam rentang waktu 1987-1995, mereka telah menghasilkan sekitar tujuh album. Setelah sekian lama berkutat di Cruz Records label independen kecil milik Greg Ginn (Black Flag), sekitar pertengahan 1994 perubahan besar datang. ALL dikontrak oleh Interscope. Label besar yang menaungi nama-nama kondang seperti; No Doubt, Helmet, Smash Mouth dan lain sebagainya.

Keputusan tersebut membuat para personel ALL, dapat hidup lebih layak. "(Setelah bernaung di label besar) Kami akhirnya punya cukup uang, untuk hidup seperti orang normal," kenang Karl Alvarez.

Sebelumnya Karl menempati rumah ayahnya, Bill dan pacarnya juga menumpang di situ. “Padahal saat itu saya sudah menikah, ini merupakan hal baru bagi kami dan semua orang pindah ke lingkungan yang berbeda, tetapi kami terus melakukan tur dan membuat rekaman," ujarnya menambahkan.

Tak hanya itu, mereka juga berhasil membangun studio rekaman sendiri, dengan uang yang mereka dapat dari Interscope. Dan Pummel adalah album pertama yang diproduksi, di studio yang diberi nama The Blasting Room tersebut.


Tepat pada hari ini,
Pummel menginjak usia yang ke-30. Ini merupakan album satu-satunya mereka, yang kasetnya beredar resmi di Indonesia.

Album ini sebetulnya enggak jelek-jelek amat. Dari 15 trek yang mereka suguhkan, saya lebih sering mendengarkan "Miranda" dan "Breakin' Up". Karena secara nada agak catchy, menurut saya.

Selain dua lagu itu, "Self-Righteous" juga nyantol di kuping saya dan sudah pas ditaruh sebagai trek pembuka. Lagu selanjutnya "Million Bucks", menceritakan apa yang mereka rasakan tatkala berlabuh di label besar. Sedangkan lagu "Uncle Critic" saya anggap sebagai lagu resistensi mereka, atas tudingan sell out dari komunitas.

Apesnya lagi mereka harus berhadapan dengan komunitas LGBTQ di scene, lantaran lagu "Hetero" yang dianggap bertema homophobia. Selebihnya ya kurang lebih Descendents-lah, cuman beda karakter vokal saja.

Meski uang yang mereka dapat cukup besar dan album mereka terdistribusi album secara luas, namun tidak serta hal itu membuat mereka tersohor. Mereka tetaplah band punk rock mediocre.

Bahkan Interscope menyudahi kontrak dengan mereka, setelah mengetahui dari segi penjualan Pummel kurang memuaskan. Namun Bill Stevenson, Karl Alvarez dan Stephen Egerton, enggak mau ambil pusing. Mereka lalu melakukan reunifikasi dengan Milo Aukerman dan menghasilkan Everything Sucks (Epitaph, 1996). Sebuah album comeback yang cukup menggigit, menurut beberapa pengamat musik.

Kendati, Pummel bukanlah album terbaik ALL, akan tetapi ia tetap menawarkan materi yang segar bagi para penikmat musik punk rock. Terlebih saat scenester lokal sedang haus-hausnya terhadap referensi album punk rock lainnya, yang saat itu cukup sulit didapat. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters...
Nostalgia, Ini 13 Album Punk Rock 90-an Besutan Major Label yang Beredar di Tanah Air Setelah Green Day sukses di ranah mainstream pada pertengahan dekade 1990, sebagian label mayor mulai melirik punk rock sebagai hal yang profitable . Meski demikian, tak serta-merta banyak band punk yang ingin bergabung. Padahal bila merunut ke belakang, sesungguhnya punk rock memiliki kedekatan dengan label mayor. Seperti Sex Pistols pernah bernaung di EMI lalu di Virgin. The Clash dan The Vibrators di Epic. The Saints di EMI, Slaughter & the Dogs di Decca dan lain sebagainya. Berkembangnya prinsip ‘Do It Yourself’ atau DIY pada dekade 80-an, membuat wajah punk rock tak lagi bersahabat dengan label mayor.  Cap “Sell out” pun menjadi momok yang ditakuti. Di tengah derasnya penolakan terhadap label mayor, Dookie muncul menjadi antitesis. Akan tetapi Green Day bukan satu-satunya band punk rock yang berlabuh ke label mayor pada dekade 1990. Selain Green Day ada Social Distortion yang menelurkan ...
Menilik Perkembangan Ska di Jepang Kalian pasti pernah melihat unggahan di media sosial, terkait teknologi di Jepang bukan? biasanya dilengkapi narasi yang berbunyi “Jepang hidup di 2050”. Meski sekadar ungkapan, namun hal itu cukup menggambarkan, betapa pesatnya kemajuan negeri Sakura tersebut. Tak hanya dibidang teknologi, otomotif, industri komik (manga), budaya, pendidikan, dan kedisiplinan saja. Ternyata di bidang musik khususnya musik underground , Jepang juga lebih unggul dibanding dengan negara lainnya, yang berada di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Di posisi kedua mungkin di duduki Filipina. Itu juga karena Filipina jajahan Amerika, dan banyak eskpatriat tinggal di sana yang mengenalkan punk. Scene underground di Jepang eksis pada akhir dekade 1970, yang ditandai dengan hadirnya band SS, yang memainkan punk rock bertempo cepat. Setelah itu muncullah nama-nama seperti The Stalin, G.I.S.M., Gauze, Lip Cream, Kuro, dan lain sebagainya. Tak hanya scene punk, scene ska pun...