Langsung ke konten utama

Bocah-bocah dalam Scene Punk CBGB Era 80-an

Sekali waktu saya pernah melihat percakapan mendiang Al Barile, pentolan Society System Decontrol (SSD) dengan seorang netizen dalam sebuah unggahan. Netizen tersebut menanyainya tentang Harley Flannagan (The Stimulators, Cro-Mags). Lalu Al berujar “He’s just a little kid back then.

Pernyataannya ada benarnya, mengingat Al kelahiran tahun 1962, sedangkan Harley kelahiran 1967. Mereka selisih usia 5 tahun!.

Namun SSD baru terbentuk pada 1981. Sedangkan Harley di tahun 1978, sudah terjun ke scene sebagai penggebuk drum The Stimulators, saat dia masih berusia 11 tahun. The Stimulators tercatat pernah satu panggung bareng; Black Flag, The Undead, Stiff Little Fingers, Pure Hell, The Fall, Bad Brains, Richard Hell and The Voidoids, hingga Sid Vicious.


Lalu pertanyaannya siapa yang lebih dulu terjun ke scene? Al Barile kah atau Harley Flanagan. Tentu jawabnya Harley. Mengapa? sebab scene itu tidak seperti “Lo masuk SD sehingga usia lo sepantaran semua”. Scene itu lebih ke siapa yang duluan terjun, jadi bukan soal usia.

Nama-nama seperti; Jesse Malin (Heart Attack, D Generation), Todd Youth (Warzone, Murphy’s Law), Jimmy Yu (Death Before Dishonor), Vinnie Value (Warzone, Grey Area), Adam Yauch (Beastie Boys), sampai Freddy Cricien (Madball), juga memulai kiprahnya di scene, pada usia yang terbilang bocah. Tak terkecuali Billie Joe Armstrong (Green Day) dan Lars Frederiksen (Rancid), yang beranjak dari L.A. punk scene sejak dekade 80-an.

Di samping nama-nama di atas, ternyata ada pula sekelompok bocah yang kerap wara-wiri di CBGB, namun tidak ngeband. Salah satunya adalah mendiang Steve Poss. Kontribusinya di scene terbilang banyak. Di antaranya, mengisi choir (penyanyi latar) pada lagu "Working On The Avenue" milik D Generation, album Pall In The Family Reaper Records, 2018) milik Sheer Terror, dan album Against All Odds (Victory Records, 1998) milik Shutdown, dan lain sebagainya.

Dia juga pernah menjadi tim manajemen Murphy’s Law. Bahkan Reagan Youth dua tahun lalu, merilis album berjudul The Poss Tapes 1981 - 1984 (New Red Archives, 2023), yang didedikasikan untuk dirinya.

Steve mungkin tidak sepopuler mereka yang ngeband, tapi eksistensinya tidak terbantahkan. Demikian karena scene tidak hanya di isi oleh, para pemain band belaka!. Tetapi ada komponen-komponen lain yang saling menopang, dalam pembentukannya. Seperti; crowd (fans), venue, record label and management, designer/artworker, gig organizer, dan media (fotographer, penulis fanzine dan lain sebagainya). Dan orang-orang seperti Steve, juga eksis di waktu yang bersamaandengan mereka yang ngebanddan dalam rentang usia bervariasi.

Mungkin kita pernah mendengar ucapan “gue ngga pernah liat dia dulu di scene?”. How can you recognized, every single face that has come and go in the scene, for the last two decades? Jawabnya hampir mustahil!, apalagi kalau circle lo cuman di kalangan pemain band doang.

Coba deh diingat-ingat, apakah yang nonton ke gig saat lo main itu setan atau ubin. Kalau jawabnya orang (crowd). Itu artinya ada banyak pihak, selain yang ngeband bukan?

Jadi kesimpulannya adalah the scene belongs to everyone/all ages. Dan tidak semuanya yang terjun ke scene, memilih jalan sebagai performer. Mungkin ada yang merasa lebih nyaman berada di crowd, membuat fanzine, membuka venue lalu mengorganisir gig serta tur, menjalankan record label dan manajemen, mendesain sampul album atau poster gig, atau sekadar jadi kolektor dan pengarsip.

Oleh karena dalam budaya punk tidak ada aturan yang ajek, makanya kita bebas jadi apapun yang kita mau dan tetap bisa berkontribusi di scene, sesuai bidang yang dikuasai dan bertahan sebagai true believer.***



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters...
Klöver: Punk yang Merasa Tidak Beruntung Dookie (Reprise, 1994) adalah game changer , dan itu fakta. Efeknya punk rock gold rush pun, dalam industri musik dunia tidak terhindarkan. Dan hal tersebut, tak luput jadi perhatian Mercury Records, yang ikut-ikutan merangkul band-band punk rock. Namun boro-boro menggaet band muda ─pada zaman itu─ kaya Green Day atau The Muffs, mereka malah merangkul muka-muka lama. Kok bisa? yah bisa saja, mungkin karena dilandasi persepsi kalau band-band muda tidak terlalu banyak yang tahu. Sementara kalau muka-muka lama, paling tidak mereka sudah punya nama dan disegani dalam komunitas. Jadi mengatrol namanya ngga capek-capek amat. Padahal teori begini, kadang ngga berbanding lurus dengan hasil penjualan. Singkat cerita, merapatlah Circle Jerks dan Klöver. Di sini, saya tidak perlu menjelaskan lagi Circle Jerks. Sebaliknya Klöver adalah newbie di scene punk, akan tetapi isinya muka-muka lama. Klöver adalah band punk rock supergroup asal Boston, Ma...
Punk Komedi, Bisakah Serius? Kemarin sebuah media daring musik terkemuka, mengirim unggahan berjudul Punk Komedi, Bisakah Serius? . Tapi ketika dicari di laman resmi mereka, ternyata tidak ada ulasan lebih lanjut, melainkan hanyalah konten interaktif media sosial belaka, terkait kemunculan band-band punk rock dengan esensi komedi di Tanah Air. Dinarasikan bahwa Tabraklari jadi satu dari sekian band, yang meramu musiknya demikian. Dalam artikel ini tidak membahas Tabraklari. Cuman yang disayangkan ialah, media daring itu tidak menggali pembahasan ini lebih dalam. Seandainya bila disertai ulasan yang mendetail, mungkin bisa jadi sarana edukasi. Sedikit flashback ke pertengahan dekade 1970. Tak hanya di daratan Britania, virus punk rock juga menyebar seantero Amerika. Bola salju yang digelindingkan Ramones, bergulir cepat dan kian membesar. Menyebabkan lahirnya band-band punk generasi kedua ─ menurut Keith Morris (Circle Jerks) yang bahkan memposisikan Black Flag generasi ketiga ─ ...