Langsung ke konten utama

Apakah Mendiang Raybeez (Warzone) Seorang Yahudi?


It's coming again from the streets

A lion's roar, a tribal beat

It's time for you to give a hand

And fight the battle to the promised land

Adalah penggalan lirik lagu “The Sound of Revolution” milik Warzone, yang terdapat dalam album dengan judul yang sama. Album tersebut rilis pada 1996, di bawah bendera Victory Records. Album ini cukup diminati di kalangan scenester lokal. Namun sayangnya tidak rilis di Indonesia, tapi malah beredar di Malaysia melalui Valentine Sound Productions (VSP).

Di tongkrongan sendiri album ini beredar dari tangan ke tangan, biasanya merupakan copian dari CD. Dan jangan lupa album ini juga pernah dibajak, dengan cover cetak offset dan dapat mudah dijumpai di lapakan, sekitar tahun 2000-2002.

Dalam tulisan ini saya enggak fokus ke albumnya ya, tapi lebih pada lagu tersebut dan sudah sekian lama tergiang di benak saya, mengenai makna dari lagu tersebut. Terutama pada kalimat “promise land”, yang merujuk pada tanah Kanaan, atau tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham dan keturunannya (dalam hal ini penganut Yudaisme).

Memang ada sejumlah peristiwa konflik di Israel yang terjadi pada 1995-1996, yang mungkin jadi inspirasi dalam penulisan lirik. Namun sayangnya, dalam kredit lagu tidak tercantum nama sang penulis. Tapi dugaan saya, yang menulis adalah Raybeez.

Mengingat dalam album The Sound of Revolution, Warzone beranggotakan; Raybeez (vokal), Todd Youth (bass), Jay Lehrhoff (bass), dan Vinny Value (drum). Di antara mereka berempat, personel lawas hanya Raybeez dan Todd Youth. Walau demikian Todd pernah meninggalkan Warzone di tahun 1986, sebelum mereka melepas debut album Don't Forget The Struggle Don't Forget The Streets (Fist Records, 1987), dan memilih bermain bersama Murphy’s Law.

Itulah mengapa saya menduga Raybeez yang menulis lagu tersebut, karena dia satu-satunya constant member, merangkap founder, sekaligus yang paling dituakan. Sehingga paling mungkin untuk mendominasi dalam penulisan lirik, maupun menentukan arah kreatif band.

Pertanyaannya sekarang apakah Raybeez atau Raymond Barbieri seorang Yahudi?, ini yang masih abu-abu. Tapi bila ditinjau dari nama (marga) belakangnya, maka nama “Barbieri” biasa dipakai oleh orang Italia atau keturunan imigran Italia.

Seperti kita ketahui Italia juga memiliki koneksitas erat dengan Yahudi, yang bahkan kalau di tracing keberadaannya komunitas Yahudi di Italia, sudah ada sejak zaman Romawi kuno. Di sisi lain kota New York, merupakan wilayah dengan jumlah populasi orang Yahudi terbesar di Amerika Serikat.

Secara fisiognomi Raybeez juga agak mirip dengan orang Yahudi kebanyakan. Robert Knox, seorang ahli anatomi abad ke-18, menggambarkan hidung orang Yahudi  "a large, massive, club-shaped, hooked nose." Ahli anatomi lainnya, Jerome Webster, pada tahun 1914, menggambarkan orang Yahudi "a very slight hump, somewhat broad near the tip and the tip bends down." Bukankah semua deskripsi tadi sangat identik, dengan garis wajah Raybeez.

Penuturan  John "Omen" Ullman pemain bass Warzone periode awal. Dalam sebuah wawancara yang termuat dalam www.clrvynt.com, pada 2 September 2016 lalu. Mungkin bisa jadi bahan pertimbangan juga. Berikut petikan wawancaranya;

I’m a New York Jew, and Jay Vento was half Jewish, and Raybeez and our friends were more open and cosmopolitan, meaning we mixed with the rich folks and chilled at their SoHo lofts, and were with the poor, right there for them, sometimes helping out or protecting them.

Meski secara eksplisit dia menyebut dirinya dan Jay Vento berdarah Yahudi, akan tetapi kalimat lainnya cukup bias untuk dicerna. Sehingga masih menyisakan tanda tanya, mengenai latar belakang Raybeez.

Namun di sini saya mencoba subyektif, barangkali yang dimaksud “promise land” dalam lagu tersebut, layaknya alegori. Sebuah kiasan untuk menggambarkan dunia yang lebih baik. Tempat di mana kesulitan akan teratasi, dengan perjuangan dan bekerja, untuk mencapai masa depan.

     Saya pun memaklumi, kalau saat ini masyarakat dunia lagi jengkel terhadap Israel dan segala tindak-tanduk Netanyahu. Tapi mari kita pisahkan antara musik, orang yahudi (secara individu), dan Zionis Israel. Musik ya musik. Saya tidak mau hipokrit juga, toh banyak kok karya-karya musisi keturunan Yahudi yang musiknya saya gemari, salah duanya; The Clash dan Ramones.

Demikian karena, saya menarik garis antara pandangan politik dan musik. Namun tetap bagi saya kebebasan Palestina, dari okupasi Zionis Israel adalah hal yang mutlak. Karena isu humanitarian terutama di Gaza, adalah fokus kita bersama, terlepas apapun keyakinanmu. ***

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters...
Nostalgia, Ini 13 Album Punk Rock 90-an Besutan Major Label yang Beredar di Tanah Air Setelah Green Day sukses di ranah mainstream pada pertengahan dekade 1990, sebagian label mayor mulai melirik punk rock sebagai hal yang profitable . Meski demikian, tak serta-merta banyak band punk yang ingin bergabung. Padahal bila merunut ke belakang, sesungguhnya punk rock memiliki kedekatan dengan label mayor. Seperti Sex Pistols pernah bernaung di EMI lalu di Virgin. The Clash dan The Vibrators di Epic. The Saints di EMI, Slaughter & the Dogs di Decca dan lain sebagainya. Berkembangnya prinsip ‘Do It Yourself’ atau DIY pada dekade 80-an, membuat wajah punk rock tak lagi bersahabat dengan label mayor.  Cap “Sell out” pun menjadi momok yang ditakuti. Di tengah derasnya penolakan terhadap label mayor, Dookie muncul menjadi antitesis. Akan tetapi Green Day bukan satu-satunya band punk rock yang berlabuh ke label mayor pada dekade 1990. Selain Green Day ada Social Distortion yang menelurkan ...
Klöver: Punk yang Merasa Tidak Beruntung Dookie (Reprise, 1994) adalah game changer , dan itu fakta. Efeknya punk rock gold rush pun, dalam industri musik dunia tidak terhindarkan. Dan hal tersebut, tak luput jadi perhatian Mercury Records, yang ikut-ikutan merangkul band-band punk rock. Namun boro-boro menggaet band muda ─pada zaman itu─ kaya Green Day atau The Muffs, mereka malah merangkul muka-muka lama. Kok bisa? yah bisa saja, mungkin karena dilandasi persepsi kalau band-band muda tidak terlalu banyak yang tahu. Sementara kalau muka-muka lama, paling tidak mereka sudah punya nama dan disegani dalam komunitas. Jadi mengatrol namanya ngga capek-capek amat. Padahal teori begini, kadang ngga berbanding lurus dengan hasil penjualan. Singkat cerita, merapatlah Circle Jerks dan Klöver. Di sini, saya tidak perlu menjelaskan lagi Circle Jerks. Sebaliknya Klöver adalah newbie di scene punk, akan tetapi isinya muka-muka lama. Klöver adalah band punk rock supergroup asal Boston, Ma...