Langsung ke konten utama

Ketika Queen Bermain di Wilayah Punk Rock


Alkisah pada 6 Juli 1977, band rock Queen dijadwalkan masuk Wessex Studios, yang berlokasi di Highbury New Park, London, untuk menggarap album keenam bertajuk News of the World (EMI, 1977). Saat itu Inggris, tengah memasuki musim panas, sehingga waktu yang tepat bagi Freddie Mercury, Brian May, Roger Taylor, dan John Deacon, memulai aktifitas.

Ini sebetulnya bukan kali pertama, kuartet asal London tersebut rekaman di situ. Pada tahun sebelumnya, mereka juga merekam sebagian materi album A Day at the Races (EMI, 1976), di Wessex Sound Studios.

Tapi suasana kali ini agak berbeda. Karena pada saat itu tengah berlangsung, sesi rekaman bagi band anyar bernama Sex Pistols. Dan mereka sudah masuk Wessex Studios sejak bulan Maret, guna merekam debut album Never Mind the Bollocks, Here's the Sex Pistols (Virgin, 1977).

Singkat cerita amprokan lah dua band itu, di tempat yang sama. Yang satu superstar, yang satu rising star. Yang satu well educated, yang satu lagi begajulan. Dengan latar belakang yang kontras tersebut, membuat apapun bisa saja terjadi. Dan benar saja, ketika Queen sedang rehat di ruang tunggu setelah rekaman, datanglah sosok slebor dengan langkah sedikit gontai. Dia tak lain adalah Sid Vicious, pembetot bass Sex Pistols. Sid datang untuk mengisi secuil part bass, pada lagu "Bodies" dan "God Save the Queen", yang sebelumnya telah dikerjain 80% oleh Steve Jones (gitaris).


Mengutip dari mirror.co.uk, tanpa basa-basi Sid bertanya ke Freddie Mercury, "have you succeeded in bringing ballet to the masses yet?." Sebagaimana kita ketahui, penyanyi bergigi tonggos itu memang kerap berpenampilan androgini di atas panggung, salah satunya mengenakan stelan balet. Mendapat pertanyaan konyol tersebut, sontak Freddie berdiri lalu berjalan ke arah Sid, dan berkata “Aren't you Simon Ferocious or something?.”

Menurut Freddie, Sid nampak tidak senang dengan ucapannya. “What are you going to do about it?," timpal Freddie, dengan nada menantang. Saking dongkolnya, dia lalu mencengkeram kerah jaket kulit Sid, dan menyeretnya keluar studio. “Make sure you scratch yourself in the mirror properly today, and tomorrow you're going to get something else,” ujarnya mencak-mencak. Sid benar-benar berhadapan dengan orang yang salah. Dia tidak tahu dibalik penampilan yang gay-ish, Freddie adalah sosok yang garang.

Tak berhenti di situ, dilansir dari express.co.uk saat Freddie hendak take piano, dia kembali mendapat “gangguan”. Sekonyong-konyong Johnny Rotten masuk, dan merangkak ke bawah piano untuk menyapa Freddie sebentar, kemudian keluar lagi. Peter Hince, roadie Queen yang turut menyaksikan, lantas menegur sound engineer Sex Pistols, supaya mencegah Rotten tidak melakukan hal itu lagi.

Dampak dari pertembungan tersebut, terciptalah lagu "Sheer Heart Attack" yang beraroma punk rock. Tapi sebetulnya itu lagu lama, yang kembali digarap dengan aransemen yang mengikuti tren musik saat itu. Sebagaimana dinyatakan Brian May, dalam sebuah wawancara “We wanted to go back to basics for News of the World. But it was very timely, because the world was looking at punk and things, being very stripped down. So in a sense we were conscious, but it was part of our evolution anyway.

Setelah proses rekaman dan tetek bengeknya rampung, dalam tempo cuman empat bulan, pada 28 Oktober 1977, News of the World rilis. Album tersebut memuat sebelas trek lagu, dengan empat single jagoan: "We Are the Champions", "We Will Rock You", "Spread Your Wings", dan "It's Late".

Sampulnya bergambar robot raksasa, dengan para personel Queen yang sekarat di tangannya. Gambar itu terinspirasi dari majalah Analog Science Fiction and Fact terbitan Oktober 1953, yang dimodifikasi sedikit oleh kreatornya Frank Kelly Freas, untuk menyesuaikan permintaan Queen. Kini baik News of the World dan Never Mind the Bollocks, Here's the Sex Pistols, dianggap salah dua album rock fenomenal yang hadir pada dekade 1970.***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters...
Nostalgia, Ini 13 Album Punk Rock 90-an Besutan Major Label yang Beredar di Tanah Air Setelah Green Day sukses di ranah mainstream pada pertengahan dekade 1990, sebagian label mayor mulai melirik punk rock sebagai hal yang profitable . Meski demikian, tak serta-merta banyak band punk yang ingin bergabung. Padahal bila merunut ke belakang, sesungguhnya punk rock memiliki kedekatan dengan label mayor. Seperti Sex Pistols pernah bernaung di EMI lalu di Virgin. The Clash dan The Vibrators di Epic. The Saints di EMI, Slaughter & the Dogs di Decca dan lain sebagainya. Berkembangnya prinsip ‘Do It Yourself’ atau DIY pada dekade 80-an, membuat wajah punk rock tak lagi bersahabat dengan label mayor.  Cap “Sell out” pun menjadi momok yang ditakuti. Di tengah derasnya penolakan terhadap label mayor, Dookie muncul menjadi antitesis. Akan tetapi Green Day bukan satu-satunya band punk rock yang berlabuh ke label mayor pada dekade 1990. Selain Green Day ada Social Distortion yang menelurkan ...
Menilik Perkembangan Ska di Jepang Kalian pasti pernah melihat unggahan di media sosial, terkait teknologi di Jepang bukan? biasanya dilengkapi narasi yang berbunyi “Jepang hidup di 2050”. Meski sekadar ungkapan, namun hal itu cukup menggambarkan, betapa pesatnya kemajuan negeri Sakura tersebut. Tak hanya dibidang teknologi, otomotif, industri komik (manga), budaya, pendidikan, dan kedisiplinan saja. Ternyata di bidang musik khususnya musik underground , Jepang juga lebih unggul dibanding dengan negara lainnya, yang berada di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Di posisi kedua mungkin di duduki Filipina. Itu juga karena Filipina jajahan Amerika, dan banyak eskpatriat tinggal di sana yang mengenalkan punk. Scene underground di Jepang eksis pada akhir dekade 1970, yang ditandai dengan hadirnya band SS, yang memainkan punk rock bertempo cepat. Setelah itu muncullah nama-nama seperti The Stalin, G.I.S.M., Gauze, Lip Cream, Kuro, dan lain sebagainya. Tak hanya scene punk, scene ska pun...