Langsung ke konten utama

Dave Parsons, Dari The Partisans ke Bush

Jalan hidup orang memang tidak ada yang tahu. Tapi saya percaya kunci sukses (di luar privilege), adalah fokus dan konsisten, terhadap apa yang dilakukan saat ini, hingga waktu yang akan mengangkat derajat kita dengan sendirinya. Hal itu pula yang dilakukan oleh David Guy Parsons atau Dave Parsons, pemain bass band alternatif rock era 90-an Bush. Jauh sebelum namanya dikenal, Dave Parsons adalah bassist band street punk asal Bridgend, Wales, Inggris, The Partisans.

Mengutip dari Wikipedia, The Partisans terbentuk pada awal tahun 1978. Dengan formasi awal: Phil Stanton (vokal), Rob "Spike" Harrington (gitar dan vokal), Andy Lealand (gitar), Mark "Shark" Harris (drum), dan Mark "Savage" Parsons (bass). Saat itu semua personelnya masih berusia belasan, mungkin setara SMP. Pada 1979, Mark Parsons dan Phil Stanton cabut. Lalu, Spike Harrington pindah ke vokal utama, dan Louise Wright (pacar Andy Lealand) direkrut sebagai pemain bass.

Formasi tersebut bertahan hingga menghasilkan dua album pendek, bertajuk Police Story/Killing Machine (1981), dan 17 Years Of Hell (1982) lewat No Future Records. Di tahun berikutnya mereka berhasil melepas debut self-titled album ─ kelak yang beredar di komunitas punk Ibu Kota, Jakarta, yang versi Police Story  (1992, Anagram Records)─, di bawah naungan label yang sama.

Tapi sayang setelah album itu rilis, The Partisan malah melempem, dan berujung pada hengkangnya Louise Wright, posisinya lantas diambil alih oleh Dave Parsons. Sebelum bergabung dengan The Partisans, waktu SMA pria kelahiran, London, 1966 itu, pernah tergabung dalam band Dig:Dig:Dig, sebagai pemain bass. Band tersebut sempat merilis 7-inch records berjudul Our Money (No Cure Records, 1981), yang berisi tiga lagu. Dave Parsons datang diwaktu yang tepat, saat ketiga personel The Partisans yang tersisa galau mencari pemain bass. Singkat cerita, dia ditarik lah untuk menggantikan Louise Wright. Formasi ini kemudian membuahkan album pendek, bertitel Blind Ambition (Cloak & Dagger Records, 1983).

Tak berselang lama mereka kembali melepas album kedua, berjudul The Time Was Right (Cloak & Dagger Records, 1984), yang secara musikal berbeda dengan debut album mereka. Pada album ini pengaruh U.K. Subs, Sex Pistols, dan The Clash, cukup kental terasa. Tapi sialnya formasi ini lagi-lagi tidak bertahan lama. Sesaat kemudian The Partisans pun bubar.

Setelah nyaris dua tahun tidak ngeband. Pada tahun 1986, Dave Parsons bertemu dengan Wendy James (vokal) dan Nick Christian Sayer (gitar), di sebuah pub di distrik Notting Hill, London Barat. Dari pertemuan itu, ketiganya sepakat membentuk Transvision Vamp. Pada musim dingin 1986, Transvision Vamp menandatangani kontrak rekaman dengan MCA. Di tahun 1987 mereka melepas single "Revolution Baby", berserta klipnya. Tak dinyana single ini diterima baik oleh pasar.

Dalam sekejap, Transvision Vamp menjelma sebagai band live yang sukses. Kisaran 1988-1989, Transvision Vamp berada di puncak dunia pop-rock dengan lagu-lagu hits, seperti “I Want Your Love”, “Baby I Don’t Care”, dan lain sebagainya. Penjualan kedua album ─Pop Art dan Velveteen─ mereka juga meraih predikat Platinum. Setelah bermain di konser-konser besar, tur ke berbagai Negara, dan berhasil menduduki tangga-tangga lagu bergengsi di Eropa. Transvision Vamp bubar! pada 1991. Padahal mereka baru saja melepas album ketiga, Little Magnets Versus the Bubble of Babble. Adanya konflik dengan pihak label, serta tergerus oleh gelombang alternatif rock, yang di nakhodai Nirvana and the Seattle gank, disinyalir membuat mereka mengambil keputusan tersebut.

Setahun kemudian Dave Parsons, ditarik oleh Gavin Rossdale (vokal dan gitar), dan Nigel Pulsford (gitar), dalam project band-nya bernama Future Primitive. Sesaat setelah Dave Parsons dan drummer Robin Goodridge bergabung, mereka mengubah nama menjadi Bush. Butuh waktu sekitar dua tahun, bagi kuartet ini, hingga bisa melepas debut album Sixteen Stone (Interscope, 1994). Rupanya dewi fortuna masih tak ingin jauh-jauh dari Dave Parsons. Sixteen Stone meledak, dan menjadi album Bush yang paling populer. Sampai-sampai menduduki posisi #4 di tangga lagu Billboard 200 Amerika.

Album tersebut banyak menghasilkan single sukses, seperti: "Glycerine", "Comedown", "Everything Zen", "Little Things", dan "Machinehead". Bahkan "Comedown" dan "Glycerine" berhasil mencapai peringkat satu di tangga lagu Billboard Modern Rock Tracks Amerika. Pada 16 April 1997, Sixteen Stone diganjar predikat Multi Platinum oleh RIAA (Recording Industry Association of America). Meski Bush mendapat atensi yang luar biasa di negeri Paman Sam, ironinya musik yang mereka tawarkan justru tidak dilirik di negara asalnya. Setelah merengkuh kesuksesan di industri musik selama delapan tahun, dan membuahkan empat album penuh, Bush resmi membubarkan diri pada 2002.

Kekinian Dave Parsons, lebih banyak bekerja di belakang layar. Namun kiprahnya cukup menginspirasi. Dave Parsons jadi satu dari sekian musisi profesional, yang beranjak dari kancah punk. Seperti halnya Duff McKagan (Guns N' Roses) yang mengawali karir dari The Fartz dan 10 Minute Warning. Michael Peter Balzary aka Flea (Red Hot Chili Peppers) yang beranjak dari FEAR, Chris Shiflett (Foo Fighters) dari No Use for a Name, serta Big John Duncan (Goodbye Mr. Mackenzie) yang dikenal sebagai gitaris The Exploited formasi klasik.***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Reptil, Band Punk Lokal di Layar Kaca Era 90-an Di tengah kenaikan harga bahan pokok, anjloknya nilai tukar rupiah, dan konstelasi politik yang tak menentu pada 1998, ternyata tidak terlalu berpengaruh pada industri musik arus utama dalam negeri. Sektor ini terus menggenjot talenta-talenta baru hadir kepermukaan. Nama-nama yang sudah tersohor pun, tak ketinggalan merilis album seperti; Slank hadir dengan album Tujuh, Potret dengan Café, Jamrud dengan Terima Kasih, Kahitna dengan Sampai Nanti, Gigi dengan Kilas Balik, dan seterusnya. Album kompilasi pun marak. Seperti Metalik Klinik II, Alternatif Mania, Indie Ten, Indienesia dan lain sebagainya. Hadirnya kompilasi-kompilasi tersebut menunjukkan bila industri arus utama, juga menaruh perhatian dengan band-band sidestream . Serta menjadi bukti akan eksistensi aneka genre yang ada dalam ranah musik Tanah Air. Menariknya kompilasi-kompilasi tersebut tak hanya memuat musik rap, alternatif, funk, dan metal saja, bahkan punk pun ters...
Nostalgia, Ini 13 Album Punk Rock 90-an Besutan Major Label yang Beredar di Tanah Air Setelah Green Day sukses di ranah mainstream pada pertengahan dekade 1990, sebagian label mayor mulai melirik punk rock sebagai hal yang profitable . Meski demikian, tak serta-merta banyak band punk yang ingin bergabung. Padahal bila merunut ke belakang, sesungguhnya punk rock memiliki kedekatan dengan label mayor. Seperti Sex Pistols pernah bernaung di EMI lalu di Virgin. The Clash dan The Vibrators di Epic. The Saints di EMI, Slaughter & the Dogs di Decca dan lain sebagainya. Berkembangnya prinsip ‘Do It Yourself’ atau DIY pada dekade 80-an, membuat wajah punk rock tak lagi bersahabat dengan label mayor.  Cap “Sell out” pun menjadi momok yang ditakuti. Di tengah derasnya penolakan terhadap label mayor, Dookie muncul menjadi antitesis. Akan tetapi Green Day bukan satu-satunya band punk rock yang berlabuh ke label mayor pada dekade 1990. Selain Green Day ada Social Distortion yang menelurkan ...
Menilik Perkembangan Ska di Jepang Kalian pasti pernah melihat unggahan di media sosial, terkait teknologi di Jepang bukan? biasanya dilengkapi narasi yang berbunyi “Jepang hidup di 2050”. Meski sekadar ungkapan, namun hal itu cukup menggambarkan, betapa pesatnya kemajuan negeri Sakura tersebut. Tak hanya dibidang teknologi, otomotif, industri komik (manga), budaya, pendidikan, dan kedisiplinan saja. Ternyata di bidang musik khususnya musik underground , Jepang juga lebih unggul dibanding dengan negara lainnya, yang berada di wilayah Asia Timur dan Tenggara. Di posisi kedua mungkin di duduki Filipina. Itu juga karena Filipina jajahan Amerika, dan banyak eskpatriat tinggal di sana yang mengenalkan punk. Scene underground di Jepang eksis pada akhir dekade 1970, yang ditandai dengan hadirnya band SS, yang memainkan punk rock bertempo cepat. Setelah itu muncullah nama-nama seperti The Stalin, G.I.S.M., Gauze, Lip Cream, Kuro, dan lain sebagainya. Tak hanya scene punk, scene ska pun...